Kerja Hanya Selingan
"“Kerja itu cuma
selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat...“ "
Ketika Pak Heru, atasan saya,
memerintahkan untuk mencari klien yang bergerak di bidang interior, seketika
pikiran saya sampai kepada Pak Azis. Meskipun hati masih meraba-raba, apa
mungkin Pak Azis mampu membuat kios internet, dalam bentuk serupa dengan
anjungan tunai mandiri dan dari kayu pula, dengan segera saya menuju ke bengkel
workshop Pak Azis.
Setelah beberapa kali keliru
masuk jalan, akhirnya saya menemukan bengkel Pak Azis, yang kini ternyata sudah
didampingi sebuah masjid. Bengkelnya masih rumah kayu, masih seluas dulu,
ketika pertama kali saya berkunjung ke sana. Pak Azispun tampak awet muda, sama
seperti dulu. Masih dengan sigaret kreteknya, masih langsing dan tampak sehat,
hanya pakaiannya yang sedikit berubah. Kali ini dia selalu memakai kopiah
putih. Rautnya cerah, fresh, memancarkan kesan tenang dan lebih santai.
Beungeut wudhu-an ( wajah sering wudhu), kata orang sunda. Selalu bercahaya.
Karena lama tidak bertemu,
sebelum sampai ke pokok permasalahan, kami berbincang-bincang cukup lama. Dalam
rentang tujuh tahun, ternyata banyak sekali proyek yang sudah Pak Azis
kerjakan, bahkan kerja arsitekpun, yang sedikit berbeda dari bidang keahlian
yang digelutinya tujuh tahun lalu, pernah juga ia garap. Salah satu merek
pakaian muslim kenamaan, memercayakan pembangunan dan interior ruangan butiknya
di seluruh kota besar Indonesia, kepada Pak Azis. Ornamen kayu di kubah Masjid
Raya propinsi-pun merupakan buah karyanya. Yang agak surprise, ternyata Pak
Azis juga yang menangani furniture dan interior untuk acara pengajian Ramadhan
sebuah televisi swasta, yang menghadirkan seorang ulama kenamaan. Muncul
pertanyaan di benak saya : karena kerap bersinggungan dengan kegiatan islamkah
Pak Azis bisa tampak begitu tenang dan awet muda ?
***
Hidayah Allah ternyata telah sampai sedari lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam. Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam. “Atap rumah saya sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua.“ cerita Pak Azis.“Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja.”
***
Hidayah Allah ternyata telah sampai sedari lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam. Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam. “Atap rumah saya sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua.“ cerita Pak Azis.“Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja.”
Batin Pak Azis bergolak
setelah peristiwa itu. Walau uang dan pekerjaan masih terus mengalir kepadanya,
Pak Azis tetap merasa gundah, gelisah, selalu tidak tenang. “Seperti orang
patah hati, Ndra. Makan tidak enak, tidur juga susah, pokoknya persis seperti
putus cinta.”cerita Pak Azis lagi.
Lama-kelamaan Pak Azis
menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa stres atas segala rutinitas
pekerjaan, yang menurutnya seperti buang-buang waktu saja. Rutinitas kerja
membuatnya selalu gugup, sehingga waktu terasa pendek, jadi sulit menikmati
detik demi detiknya. Padahal, sebelum kejadian angin puting-beliung yang
anehnya hanya mengenai bengkel workshop merangkap rumahnya saja, Pak Azis
merasa hidupnya sudah sempurna. Dari desainer grafis dia bisa menjadi desainer
interior, dari desainer interior dia bisa menjadi arsitek, dan dengan
keserbabisaannya itu, berarti semua cita-citanya sudah berhasil dicapai. Pak
Azis merasa puas dan bangga, karena menguasai banyak keahlian dan mempunyai
penghasilan tinggi. Tapi setelah peristiwa angin puting-beliung itu, ketika
kegelisahan kembali menghinggapi dirinya, Pak Azis kembali bertanya : apa sih
yang kurang ?
“Seperti musafir atau
walisongo, saya kemudian mendatangi masjid-masjid di malam hari. Semua masjid
besar dan beberapa masjid di pelosok Bandung ini, sudah pernah saya inapi.”
Setahun lebih cara tersebut ia jalani, sampai kemudian akhirnya Pak Azis bisa
tidur normal, bisa menikmati pekerjaan dan keseharian seperti sediakala.
“Bahkan lebih tenang dan
santai daripada sebelumnya.”
“Lebih tenang ? Memang Pak
Azis dapet hikmah apa dari tidur di masjid itu ?“
“Di masjid itu ’kan tidak
sekedar tidur, Ndra. Kalau ada shalat malam, kita dibangunkan, lalu pergi wudhu
dan tahajjud. Sebab terbiasa, tahajjud juga jadi terasa enak. Malah nggak enak
kalau tidak shalat malam, dan shalat-shalat wajib yang lima itu jadi kurang
enaknya, kalau saya lalaikan. Begitu, Ndra.“
“Sekarang tidak pernah
terlambat atau bolong shalat-nya, Pak Azis ?“
“Alhamdulillah. Sekarang ini
yang saya anggap utama itu adalah shalat. Jadi, saya dan temen-temen kerja itu
cuma sekedar selingan saja.“
“Selingan ?“
“Ya, selingan yang berguna.
Untuk menunggu kewajiban shalat, Ndra.“
Untuk beberapa lama saya
terdiam, sampai kemudian adzan ashar mengalun jelas dari masjid samping rumah
Pak Azis. Pak Azis mengajak saya untuk segera pergi mengambil air wudhu, dan
saya lihat para pekerjanyapun sudah pada pergi ke samping rumah, menuju masjid.
Bengkel workshop itu menjadi lengang seketika. Martil, pahat, diletakkan begitu
saja disamping pekerjaan yang belum selesai atau rautan-rautan kayu. Sambil
memandang seluruh ruangan bengkel, sambil berjalan menuju masjid di samping
workshop, terus terngiang-ngiang di benak saya : “Kerja itu cuma selingan,
Ndra. Untuk menunggu waktu shalat...“
Sepulangnya dari tempat
workshop, sambil memandang sibuknya lalu lintas di jalan raya, saya merenungi
apa yang tadi dikatakan oleh Pak Azis. Sungguh trenyuh saya, bahwa setelah
perenungan itu, saya merasa sebagai orang yang kerap berlaku sebaliknya. Ya,
saya lebih sering menganggap shalat sebagai waktu rehat, cuma selingan, dan ada
kecenderungan saya lebih mementingkan pekerjaan. Kadang-kadang waktu shalat
dilalaikan sebab pekerjaan belum terselesaikan, atau rapat dengan klien
dirasakan tanggung untuk diakhiri. Itulah penyebab dari kegersangan hidup saya
selama ini. Saya lebih semangat dan habis-habisan berjuang meraih dunia,
daripada mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan kekal di akhirat nanti.
Saya lupa, bahwa shalat adalah yang utama. Yang pertama diperiksa dalam
pengadilan mahsyar, dimana nasib setiap anak manusia ditentukan pahit dan
manisnya.