Minggu, 25 November 2012

menggigat diri


Kerja Hanya Selingan
"“Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat...“ "
Ketika Pak Heru, atasan saya, memerintahkan untuk mencari klien yang bergerak di bidang interior, seketika pikiran saya sampai kepada Pak Azis. Meskipun hati masih meraba-raba, apa mungkin Pak Azis mampu membuat kios internet, dalam bentuk serupa dengan anjungan tunai mandiri dan dari kayu pula, dengan segera saya menuju ke bengkel workshop Pak Azis.
Setelah beberapa kali keliru masuk jalan, akhirnya saya menemukan bengkel Pak Azis, yang kini ternyata sudah didampingi sebuah masjid. Bengkelnya masih rumah kayu, masih seluas dulu, ketika pertama kali saya berkunjung ke sana. Pak Azispun tampak awet muda, sama seperti dulu. Masih dengan sigaret kreteknya, masih langsing dan tampak sehat, hanya pakaiannya yang sedikit berubah. Kali ini dia selalu memakai kopiah putih. Rautnya cerah, fresh, memancarkan kesan tenang dan lebih santai. Beungeut wudhu-an ( wajah sering wudhu), kata orang sunda. Selalu bercahaya.
Karena lama tidak bertemu, sebelum sampai ke pokok permasalahan, kami berbincang-bincang cukup lama. Dalam rentang tujuh tahun, ternyata banyak sekali proyek yang sudah Pak Azis kerjakan, bahkan kerja arsitekpun, yang sedikit berbeda dari bidang keahlian yang digelutinya tujuh tahun lalu, pernah juga ia garap. Salah satu merek pakaian muslim kenamaan, memercayakan pembangunan dan interior ruangan butiknya di seluruh kota besar Indonesia, kepada Pak Azis. Ornamen kayu di kubah Masjid Raya propinsi-pun merupakan buah karyanya. Yang agak surprise, ternyata Pak Azis juga yang menangani furniture dan interior untuk acara pengajian Ramadhan sebuah televisi swasta, yang menghadirkan seorang ulama kenamaan. Muncul pertanyaan di benak saya : karena kerap bersinggungan dengan kegiatan islamkah Pak Azis bisa tampak begitu tenang dan awet muda ?

***
Hidayah Allah ternyata telah sampai sedari lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam. Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam. “Atap rumah saya sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua.“ cerita Pak Azis.“Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja.”
Batin Pak Azis bergolak setelah peristiwa itu. Walau uang dan pekerjaan masih terus mengalir kepadanya, Pak Azis tetap merasa gundah, gelisah, selalu tidak tenang. “Seperti orang patah hati, Ndra. Makan tidak enak, tidur juga susah, pokoknya persis seperti putus cinta.”cerita Pak Azis lagi.
Lama-kelamaan Pak Azis menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa stres atas segala rutinitas pekerjaan, yang menurutnya seperti buang-buang waktu saja. Rutinitas kerja membuatnya selalu gugup, sehingga waktu terasa pendek, jadi sulit menikmati detik demi detiknya. Padahal, sebelum kejadian angin puting-beliung yang anehnya hanya mengenai bengkel workshop merangkap rumahnya saja, Pak Azis merasa hidupnya sudah sempurna. Dari desainer grafis dia bisa menjadi desainer interior, dari desainer interior dia bisa menjadi arsitek, dan dengan keserbabisaannya itu, berarti semua cita-citanya sudah berhasil dicapai. Pak Azis merasa puas dan bangga, karena menguasai banyak keahlian dan mempunyai penghasilan tinggi. Tapi setelah peristiwa angin puting-beliung itu, ketika kegelisahan kembali menghinggapi dirinya, Pak Azis kembali bertanya : apa sih yang kurang ?
“Seperti musafir atau walisongo, saya kemudian mendatangi masjid-masjid di malam hari. Semua masjid besar dan beberapa masjid di pelosok Bandung ini, sudah pernah saya inapi.” Setahun lebih cara tersebut ia jalani, sampai kemudian akhirnya Pak Azis bisa tidur normal, bisa menikmati pekerjaan dan keseharian seperti sediakala.
“Bahkan lebih tenang dan santai daripada sebelumnya.”
“Lebih tenang ? Memang Pak Azis dapet hikmah apa dari tidur di masjid itu ?“
“Di masjid itu ’kan tidak sekedar tidur, Ndra. Kalau ada shalat malam, kita dibangunkan, lalu pergi wudhu dan tahajjud. Sebab terbiasa, tahajjud juga jadi terasa enak. Malah nggak enak kalau tidak shalat malam, dan shalat-shalat wajib yang lima itu jadi kurang enaknya, kalau saya lalaikan. Begitu, Ndra.“
“Sekarang tidak pernah terlambat atau bolong shalat-nya, Pak Azis ?“
“Alhamdulillah. Sekarang ini yang saya anggap utama itu adalah shalat. Jadi, saya dan temen-temen kerja itu cuma sekedar selingan saja.“
“Selingan ?“
“Ya, selingan yang berguna. Untuk menunggu kewajiban shalat, Ndra.“
Untuk beberapa lama saya terdiam, sampai kemudian adzan ashar mengalun jelas dari masjid samping rumah Pak Azis. Pak Azis mengajak saya untuk segera pergi mengambil air wudhu, dan saya lihat para pekerjanyapun sudah pada pergi ke samping rumah, menuju masjid. Bengkel workshop itu menjadi lengang seketika. Martil, pahat, diletakkan begitu saja disamping pekerjaan yang belum selesai atau rautan-rautan kayu. Sambil memandang seluruh ruangan bengkel, sambil berjalan menuju masjid di samping workshop, terus terngiang-ngiang di benak saya : “Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat...“
Sepulangnya dari tempat workshop, sambil memandang sibuknya lalu lintas di jalan raya, saya merenungi apa yang tadi dikatakan oleh Pak Azis. Sungguh trenyuh saya, bahwa setelah perenungan itu, saya merasa sebagai orang yang kerap berlaku sebaliknya. Ya, saya lebih sering menganggap shalat sebagai waktu rehat, cuma selingan, dan ada kecenderungan saya lebih mementingkan pekerjaan. Kadang-kadang waktu shalat dilalaikan sebab pekerjaan belum terselesaikan, atau rapat dengan klien dirasakan tanggung untuk diakhiri. Itulah penyebab dari kegersangan hidup saya selama ini. Saya lebih semangat dan habis-habisan berjuang meraih dunia, daripada mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan kekal di akhirat nanti. Saya lupa, bahwa shalat adalah yang utama. Yang pertama diperiksa dalam pengadilan mahsyar, dimana nasib setiap anak manusia ditentukan pahit dan manisnya.



menggigat diri


                Kisah Perjuangan Suami melawan Iblis

Suami isteri itu hidup tenteram mula-mula. Meskipun melarat, mereka taat kepada perintah Tuhan. Segala yang dilarang Allah dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota, mau mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Ia mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia atau dagangnya laris.

"Ini syirik," fikir lelaki yang alim tadi. "Ini harus dibanteras habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah." Maka pulanglah dia terburu. Isterinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya dan dipacu cepat-cepat ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu berdiri, tiba-tiba melompat sesusuk tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupai sebagi manusia.

"Hai, mau ke mana kamu?" tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab, "Saya mau menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu."
"Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja."
"Tidak boleh, kemungkaran mesti diberantas," jawab si alim bersikap tegas.
"Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah.
"Akan saya teruskan!"

Karena masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbezaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah boleh dibinasakan. Namun ternyata iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakita dia berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan sembahyang Subuh, di bawah tikar sembahyang Tuan saya sediakan wang emas empat dinar. Pulang saja berburu, jangan teruskan niat Tuan itu dulu,"

Mendengar janji iblis dengan wang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup berkecukupan. Ia teringat akan saban hari rungutan isterinya. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah boleh menjadi orang kaya. Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patah niatnya semula hendak memberantas kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai sembahyang, dibukanya tikar sembahyangnya. Betul di situ tergolek empat benda berkilat, empat dinar wang emas. Dia meloncat riang, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sembahyang, masih didapatinya wang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi keculai tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah karena wang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

Si alim dengan lesu menjawab, "Jangan khuatir, esok barangkali kita bakal dapat lapan dinar sekaligus."
Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sembahyang dibuka tikar sejadahnya kosong.
"Kurang ajar. Penipu," teriak si isteri. "Ambil kapak, tebanglah pohon itu."
"Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu.
Maka segera ia mengeluarkan keldainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keldainya menuju ke arah pohon yang syirik itu. Di tengah jalan iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghalang. Katanya menyorot tajam, "mau ke mana kamu?" herdiknya menggegar.
"mau menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani.
"Berhenti, jangan lanjutkan."
"Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum pohon itu tumbang."

Maka terjadilah kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, "Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?"
Iblis itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja engkau dahulu boleh menang, karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada wang di bawah tikar sejadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu mampun menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu."

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Dengan terhuyung-hayang ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sedar bahwa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah, dan ia sedar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesiaan yang berlanjutan . Sebab tujuannya adalah karena harta benda, mengatasi keutamaan Allah dan agama. Bukankah bererti ia menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata ?

"Barangsiapa di antaramu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman."
Hadith Riwayat Muslim
(Nadantiar Endita )

menggigat diri


                       Keutamaan Sholat


Salat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya adalah khusu. Telah diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Tidaklah tiba waktu salat fardu kepada seseorang, lalu dia membaguskan wudunya, khusunya, dan rukuknya, melainkan salat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya."
"Barang siapa salat dua rakaat dan dia tidak berhadas selama mengerjakannya, maka dosanya yang telah lampau diampuni." (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika Abdullah bin az-Zubair sudah mendirikan salat seakan-akan seperti batang pohon karena kekhusuannya. Saat dia sujud tidak terusik meskipun ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya. Yang bisa mgnusiknya ialah jika dia ditimpa runtuhan dinding. Suatu hari dia salat di dekat Al-Hijir. Tidak lama kemudian Qudzaifah datang ke tempat itu dan mengambil sebagian kainnya. Tetapi, sepertinya Abdullah bin Zubair tidak mengetahuinya.

Maimun bin Mahran berkata, "Sekali pun aku belum pernah meihat Muslim bin Yasar menoleh saat mendirikan salat. Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh, sehingga orang-orang yang berada di pasar menjadi kaget karenanya. Sementara, saat itu pula Muslim bin Yasar berada di dalam masjid mendirikan salat. Tetapi, dia sama sekali tidak menoleh. Tetapi, jika dia hendak mendirikan salat, mereka berbicara dan tertawa."

Jika sedang wudu, rupa Ali bin al-Hasan berubah menjadi kekuning-kuningan. Ketika ada yang bertanya, "Mengapa hal ini menjadi kebiasaan yang terjadi pada dirimu saat engkau wudu?" Dia menjawab, "Tahukah kalian, di hadapan siapakah aku hendak mendirikan salat?"

Ketahuilah bahwa salat itu mempunyai rukun yang wajib dan yang sunah. Sedangkan rohnya adalah niat, ikhlas, khusu, dan keterlibatan hati. Salat itu meliputi zikir, munajat, dan perbuatan. Tanpa melibatkan hati, tidak ada yang bisa dicapai dari zikir dan munajat. Sebab, ucapan yang tidak selaras dengan apa yang terkandung di dalam sanubari kedudukannya sama dengan igauan. Perbuatan pun tidak menghasilkan apa-apa. Sebab, jika tujuan dari berdiri adalah pengabdian, tujuan dari rukuk dan sujud adalah ketundukan dan pengagungan, sementara perbuatan ini sama sekali tidak diiringi dengan kehadiran hati, maka tujuan itu pun tidak tercapai. Sebab, jika perbuatan keluar dari maksudnya, ia tinggal gambar yang tidak ada maknanya. Allah SWT berfirman, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya." (Al-Hajj: 37).

Maksudnya, yang sampai kepada Allah adalah sifat yang menguasai hati, yang mendorong untuk mengikuti perintah yang diwajibkan. Jdai, harus ada keterlibatan hati dalam salat sekalipun Allah memberi kelonggaran saat tiba-tiba lalai. Sebab, kehadiran hati pada saat permulaannya akan merembet ke saat-saat lain sesudahnya.

Makna-makna yang bisa mendukung kehidupan salat banyak macamnya. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama, kehadiran hati seperti yang disebutkan di atas. Maknanya, mengosongkan hati dari hal-hal yang bisa mengusiknya. Pendukungnya adalah hasrat. Jika muncul hasrat yang hendak mengusik hatimu, tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan hasrat ini kepada salat. Pengalihan hasrat seperti ini bisa menguat dan bisa melemah, bergantung pada kekuatan iman terhadap akhirat dan pelecehan terhadap dunia. Jika engkau merasa bahwa hatimu tidak hadir dalam salat, ketahuilah bahwa sebabnya adalah iman yang lemah. Karena itu, berusahalah untuk menguatkan iman itu.

Kedua, memahami makna-makna ucapan. Ini termasuk pendukung di belakang kehadiran hati. Bisa saja hati benar-benar hadir mengiringi setiap ucapan tetapi tanpa makna. Maka, pikiran harus dokonsentrasikan untuk memahami maknanya dengan menyingkirkan lintasan-lintasan pikiran dan memotong objeknya. Sebab, jika objeknya tidak segera dipotong,lintasan pkiran pun tidak akan pergi.

Objek di sini bisa dahir bisa batin. Yang dahir adalah yang bisa mengganggu pendengaran dan penglihatan. Adapun yang batin lebih berat, seperti orang yang disibukkan oleh berbagai macam hasrat dan yang pikirannya mengelana ke seluruh penjuru dunia. Sebab, pikirannya tidak terbatas pada satu masalah saja dan tidak bisa dienyahkan dengan menundukkan pandangan mata. Apa pun yang melintas di dalam hati sudah cukup untuk menyibukkannya.

Jalan keluarnya, jika objek itu berupa objek yang dahir, potonglah apa pun yang bisa mengganggu penglihatan dan pendengaran, yaitu mantap menghadap ke arah kilbat, memandang ke arah tempat sujud, jangan memilih tempat salat yang di situ ada gambar-gambarnya, tidak membiarkan apa yang bisa mengganggu pancainderanya ada di dekatnya. Tatkala Nabi saw. salat di suatu tempat yang ada bendera, beliau mencabutnya sambil bersabda, "Itulah yang tadi membuatku lalai dalam salat." (HR Bukhari dan Muslim).

Jika objeknya termasuk objek yang batin, jalan keluarnya ialah dengan memaksa hati dan jiwa untuk menyimak apa yang sedang dibaca dalam salat dan mengenyahkan hal-hal selainnya. Cara ini bisa dipersiapkan sejak sebelum memulai salat dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya,berusaha mengosongkan hati, memperbarui jiwa untuk mengingat akhirat dan urgensi berdiri di hadapan Allah. Jika pikiran masih belum bisa tenang juga, hendaklah dia menyadari bahwa pikirannya memang masih dikuasai hal-hal yang menarik minatnya dan keinginannya. Karena itu, hndaklah dia segera memotong semua keinginan dan bisikan nafsunya itu.

Ketahuilah bahwa bila suatu penyakit sudah akut, tidak ada yang bisa menyembuhkannya, kecuali obat dengan dosis tinggi. Jika penyakit gangguan salat semakin kuat, ia akan menarik orang yang sedang salat, dan orang yang salat menariknya, hingga salat itu berakhir dalam medan yang tarik-menarik. Perumpamaan dirinya seperti seseorang yang pergi ke tempat terpencil lalu berteduh di bawah sebuah pohon, karena dia hendak menenangkan pikirannya di sana. Suara kicau burung yang bertengger di atas pohon itu tentu saja mengganggu ketenangannya. Sepotong dahan dia lemparkan ke arah burung itu agar terbang. Burung-burung itu pun terbang menyingkir. Tetapi, selagi pikirannya belum kembali tenang, burung-burung itu kembali lagi bertengger di atas pohon dan ramai berkicau. Begitu seterusnya yang dia lakukan dengan burung-burung itu.

Lalu, ada seseorang yang memberi tahu dia, "Ini adalah sesuatu yang tidak ada habis-habisnya. Jika engkau ingin cara yang tuntas, tebanglah pohon itu!"

Begitu pula pohon-pohon hawa nafsu. Selagi pohon ini tumbuh menjadi tinggi dan bercabang-cabang dahannya, ia akan menarik pikiran, seperti burung yang tertarik untuk hinggap di pohon dan lalat yang tertarik untuk hinggap di kotoran. Maka, umur pun habis untuk mengusir sesuatu yang tidak akan bisa diusir. Sebab, tumbuhnya hawa nafsu dan syahwat ini, yang kemudian menguasai pikiran, adalah cinta kepada dunia.

Amir bin Abdi Qaispernah ditanya,"Pernahkah engkau membisiki hatimu dengan sesuatu dari urusan dunia selagi di dalam salat?"
Dia menjawab, "Lebih baik engkau meninggalkan mata tombak di punggungku daripada aku berbuat seperti itu."

Memang memutus kecintan kepada dunia dari hati bukan perkara yang gampang, dan mengenyahkannya sama sekali adalah perbuatan yang sangat berat lagi sulit. Tetapi, sebisa mungkin hal ini harus diusahakan. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi taufik dan Maha Penolong.

Ketiga, mengagungkan Allah dan takut kepada-Nya. Hal ini bisa menghasilkan dua hal: pertama, mengetahui keagungan Allah dan kebesaran-Nya. Kedua, mengetahui kehinaan dirinya dan kedudukannya sebagai hamba. Hal ini akan menghasilkan dua makrifat: ketenangan dan khusu.

Yang juga bisa menambah rasa takut ialah berharap. Berapa banyak orang yang mengagung-agungkan seorang raja, yang amat takut terhadap murkanya, sebagaimana dia sangat mengharapkan kebaikan hatinya. Jadi, orang yang mendirikan salat harus mengharapkan pahala dari Allah, sebagaimana dia takut azab-Nya jika dia meremehkan salatnya.

Orang yang hendak mendirikan salat harus menghadirkan hatinya dalam segala sesuatu yang berkait dengan salatnya. Saat mendengar azan hendaklah dia menggambarkan bahwa itu adalah seruan datangnya kiamat, lalu dia buru-buru memenuhi seruan itu. Hendaklah dia memperhatikan apa yang dia penuhi dari seruan itu dan dengan badan yang bagaimana dia hendak datang. Jika dia menutup auratnya, hendaklah dia tahu bahwa sebenarnya dengan tindakannya itu dia hendak menutupi aib badannya dari pandangan orang lain. Maka, hendaklah dia mengingat aib batinnya dan keburukan-keburukan yang dia sembunyikan, yang tidak diketahui kecuali Allah semata. Padahal, tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari penglihatan-Nya. Hal ini harus membuatnya merasa menyesal, malu, dan takut.

Jika dia sudah menghadap kiblat berarti telah mengalihkan wjahnya dari berbagai arah ke satu arah, yaitu baitullah. Jika dia mengarahkan hatinya kepad Allah, hal itu jauh lebih layak baginya. Sebagaimana wajahnya yang tidak bisa dikatakan mengarah ke baitulah, kecuali dengan meninggalkaan arah-arah yang lain, maka hatinya pun tidak bisa dikatakan mengarah kepada Allah, kecuali dengan meninggalkan hal-hal selain Allah.

Jika engkau sudah bertakbir, janganlah hatimu mendustakan lidahmu. Sebab, jika ternyata di dalam hatimu masih ada sesuatu yang lebih besar dari Allah, berarti engkau telah berbuat dusta. Maka, waspadalah jika sekiranya hawa nafsumu lebih besar dalam pandanganmu, dengan bukti engkau lebih mementingkannya daripada taat kepada Allah.

Jika engkau sedang taawud, ketahuilah bahwa taawud adalah kembali kepada Allah. Jika engkau tidak kembali dengan hatimu, ucapanmu berarti hanya sekadar main-main. Pahamilah makna yang engkau baca.

Kami telah meriwayatkan dari Zararah bin Abu Aufa r.a. bahwa dia pernah membaca dalam salatnya, "Apabila ditiup sangkakala," maka seketika itu dia jatuh dalam keadaan meninggal dunia.

Rasakanlah tawadu saat engkau rukuk, rasakanlah kehinaan saat engkau sujud, karena engkau meletakkan jiwa pada tempatnya dan mengembalikan cabang ke pokoknya, dengan cara bersujud ke tanah, yang darinya engkau diciptakan. Dengan cara ini engkau bisa memahami makna zikir dengan sepenuh perasaan.

Ketahuilah bahwa mendirikan salat dengan memenuhi syarat-syarat batiniah seperti ini bisa membersihkan hati dari noda-noda karat dan mendatangkan cahaya di dalamnya, hingga dengan cara ini keagungan yang disembah bisa tampak dan rahasia-rahasianya bisa dilihat, yang mungkin tidak bisa dinalar, kecuali oleh orang-orang yang berilmu.

Sumber: Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin, Al-Imam asy-Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisy



menggigat diri


               Kemurahan Allah

  "Dari ganjaran untuk persiapan ifthar dan kemudahan kaum Hawa dalam mendapatkan ’malam seribu bulan’, nyata betapa Maha Pemurah-Nya Allah, khususnya terhadap kaum perempuan. "
 
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana Allah memuliakan semua hamba-Nya. Kemuliaan dilimpahkan oleh Allah ke atas langit dunia, tinggal menunggu siapa-siapa yang sudi meraihnya. Siapa yang mau berusaha menggapai rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, tentu bisa menggenggam kemuliaan itu.  

Baik muslimin maupun muslimah sama-sama berpeluang meraih segala keutamaan Ramadhan. Kendati kaum Hawa lebih banyak bergiat di rumah daripada kaum Adam, sesungguhnya tak ada beda pahala yang disediakan Allah bagi keduanya. Meski terkadang para muslimah harus batal shaum karena ’kedatangan tamu’, tetap saja tak mengurangi jamuan Allah di bulan yang suci ini. Pahala mereka ketika meng-qadha shaum Ramadhan-nya yang terpaksa batal, sama saja dengan pahala yang disediakan Allah pada syahrur-ramadhan, padahal qadha shaum itu tentunya dilakukan diluar Ramadhan.  Malah pada hakikatnya pahala tersebut bisa berlipat-ganda, bila ’kedatangan tamu’ itu membuatnya ridha dan tidak berkeluh kesah, menjadi iri terhadap kaum lelaki atau sesama jenisnya yang ditakdirkan belum atau tidak ’kedatangan tamu.’  

Sesungguhnya Allah telah memudahkan kaum Hawa, dalam beribadah kepada Allah dan melayani kaum kerabatnya selama bulan Ramadhan. Pahalanya bisa berlipat-lipat, dan caranyapun sudah  sangat disederhanakan, menurut ketentuan dalam Al Qur’an maupun hadits. Setidaknya untuk urusan persiapan buka dan sahur, untuk urusan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir, peluang muslimah untuk meraih pahala lebih besar, sedang teknisnyapun lebih mudah ketimbang syarat yang harus dipenuhi oleh setiap lelaki muslim.

Untuk perkara buka shaum ataupun sahur, para ibu atau istri, pada khususnya, menjadi andalan suami dan anak-anaknya. Tugas mereka adalah menyediakan, menyiapkan, memasakkan hidangan untuk suami dan anak-anak, untuk buka shaum ataupun bersantap sahur. Ganjaran Allah untuk para ibu dan para istri yang sigap menyiapkan penganan untuk mereka yang berpuasa itu, termaktub dalam hadits yang di-shahih-kan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Baihaqi. Bunyi haditsnya adalah : Rasulullah SAW bersabda : ”Barangsiapa yang didalamnya (bulan Ramadhan) memberi ifthar kepada orang berpuasa, niscaya hal itu menjadi (sebab) ampunan dari dosa-dosanya, dan pembebasan dirinya dari api neraka.” Sedang syarat mendapat pahala yang dimaksud dalam hadits ini cukup dengan memberi sebutir kurma, bisa dibayangkan betapa besar pahala yang dilimpahkan oleh Allah terhadap kaum perempuan, yang biasanya berupaya menyediakan hidangan buka shaum dan santap sahur yang lebih istimewa, ketimbang bulan-bulan diluar Ramadhan.  

Untuk urusan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir, kaum wanita cukup melakukan ibadah di mushola atau tempat ia biasa shalat didalam rumahnya. Di tempat ia biasa shalat dan bermunajat kepada Allah itu, kaum Hawa disunnahkan untuk memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur'an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do'a dan sebagainya. Meskipun begitu, bukan berarti seorang muslimah tidak boleh ber-i’tikaf di masjid.  

Ketentuan i’tikaf di mushola rumah itu tidak berlaku bagi kaum pria.  Sebagaimana Rasulullah SAW telah mencontohkan, menyimak penyebab batalnya i’tikaf, yaitu : ”Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan.”(Panduan I’tikaf, Keluarga Masyarakat Muslim Indonesia, Jepang), maka kaum pria dikatakan sedang ber-i’tikaf disaat ia berdiam di masjid, bukan dalam mushola rumah. Bila kaum Hawa bisa meraih pahala seribu bulan cukup dengan ber-i’tikaf dalam mushola rumahnya, maka kaum Adam mesti melakukan i’tikaf di masjid untuk mendapatkan malam lailatul qadr. Demikianlah ketentuannya.  

Kesempatan ibadah, peluang partisipasi serta janji ganjaran yang Allah limpahkan terhadap kaum Hawa di bulan Ramadhan ini, nyata sedemikian besarnya. Dari ganjaran untuk persiapan ifthar dan kemudahan kaum Hawa dalam mendapatkan ’malam seribu bulan’, nyata betapa Maha Pemurah-Nya Allah, khususnya terhadap kaum perempuan. Semoga ukhti-ukhti sudi merenungkan hikmah dibalik kemurahan-Nya itu, serta makin bersemangat dalam meraih keutamaan-keutamaan ibadah lainnya.


SBRI. Diberdayakan oleh Blogger.

Template by:
Free Blog Templates